Lompat ke isi

Tari Tumbu Tanah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tumbu Tanah
Tari Tumbu Tanah yang juga dikenal dengan tarian ular (Assa & Hapsari 2015, hlm. 31)
Nama asliIbihim (Hattam), Isim (Moile), Mugka (Meyakh), Manyohora (Sough)
AsalPapua Barat, Indonesia

Tari Tumbu Tanah adalah tarian tradisional khas masyarakat suku Arfak yang tinggal di Manokwari. Tarian ini juga dikenal dengan nama tarian ular karena formasi tarian ini membentuk seekor ular yang melilitkan badannya di atas pohon. Tari Tumbu Tanah biasanya dilakukan untuk menyambut acara-acara penting, yaitu penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak, kemenangan perang, dan perayaan pesta pernikahan. Tari Tumbu Tanah merupakan jati diri masyarakat Arfak karena semua gerakan, formasi, lagu pengiring, alat musik, serta aksesoris dalam tari Tumbu Tanah merupakan ciri khas masyarakat Arfak yang membedakannya dengan tarian suku-suku lain di daerah Papua.

Sejarah

Masyarakat Arfak[a] (Mnu Kwar) yang tinggal di daerah Manokwari[b] terdiri atas empat sub-suku, yaitu suku Hatam, suku Sough, suku Moile, dan suku Meyakh.[1] Mereka memiliki kesenian tari yang sama, yang dinamakan dengan tari Tumbu Tanah.[2] Keempat suku tersebut menyebut tarian ini dengan nama tari Tumbu Tanah karena mereka menyebutnya dengan bahasa yang berbeda-beda. Masyarakat suku Hattam menyebutnya dengan nama Ibihim, sedangkan suku Moile menyebutnya dengan nama Isim. Adapun suku Meyakh menyebut tari Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya dengan nama Manyohora.[3]

Penyebutan nama tari Tumbu Tanah berawal ketika agama Kristen yang dibawa oleh dua misionaris asal Jerman, yakni Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler,[4] pertama kali masuk Papua tanggal 5 Februari 1855 melalui Pulau Mansinam.[5][6] Mereka tidak hanya membawa misi penginjilan saja, tetapi juga membangun berbagai sarana dan prasarana kemasyarakatan yang mengubah peradaban bagi masyarakat Papua, khususnya Manokwari.[7][8] Untuk mempermudah penyebutan tarian ini, mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menyebut tarian masyarakat Arfak tersebut dengan nama tari Tumbu Tanah agar dapat dikenal oleh masyarakat lain di luar keempat sub-suku itu.[9]

Berdasarkan asal-usulnya, tari Tumbu Tanah tidak terlepas dari mitologi asal-usul masyarakat Arfak mengenai cerita "Legenda Jambu Mandatjan"[c] yang bermula di Kampung Ndui. Legenda Jambu Mandatjan adalah cerita tentang perebutan penguasaan kepemilikan terhadap salah satu pohon jambu yang telah dibagi menurut keret (marga)[d] yang ada di Manokwari oleh anak-anak dari salah satu keret. Seorang anak melepaskan anak panah dalam perebutan tersebut, tetapi meleset dan mengenai seekor burung. Tindakan tersebut lantas dicela oleh anak lain yang menjadi lawannya, bahkan semakin berkepanjangan hingga melibatkan orang tua dari masing-masing keret. Masing-masing keret mengklaim kebenaran yang dilakukan oleh anaknya. Hal ini menyebabkan rusaknya hubungan harmonis yang telah terbangun di antara keret tersebut.[10]

Konflik itu menyebabkan masing-masing pihak menyatakan sumpah untuk tidak hidup bersama lagi. Sejak saat itulah masing-masing keret meninggalkan tempat yang selama itu mereka diami dan membangun hunian baru di wilayah lain.[11] Kelompok yang bergerak menuju daerah Anggi selanjutnya menurunkan masyarakat Arfak berbahasa Sough, sedangkan kelompok yang bergerak ke arah timur laut menuju daerah Minyambouw menurunkan masyarakat Arfak berbahasa Hattam. Kelompok orang Sough lantas menyebar ke arah selatan, yaitu Dataran Isim, Beimes, Chatubouw, Sururey, sebagian dari Kota Ransiki, hingga wilayah Kabupaten Teluk Bintuni. Adapun orang Hattam menyebar ke Pegunungan Arfak, terutama di Hingk, Awibehel, Beganpei, dan Pinibut.[12]

Setelah berpisah sekian lama, suku-suku tersebut memiliki keinginan untuk berkumpul kembali. Hal inilah yang menyebabkan mereka membuat cintakuek (acara pesta makan) dengan mengundang berbagai suku yang tersebar di wilayah Arfak. Selain untuk menjalin hubungan kembali dengan suku-suku lain, maksud diadakannya pesta makan ini juga untuk menunjukkan kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing suku, terutama yang berhubungan dengan kekayaan hasil bumi.[13]

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ketika makanan yang telah disajikan itu habis, beberapa orang lantas berdiri untuk menghargai tuan rumah (suku Hattam) yang sudah menyiapkan segalanya bagi para tamu. Tanpa disadari, beberapa dari mereka kemudian melompat-lompat di tempat. Hal ini diikuti oleh semua undangan hingga terbentuklah gerakan menghentakkan kaki di tanah. Selain melompat-lompat, mereka juga berteriak sebagai ungkapan perasaan bahagia dapat berkumpul kembali. Mereka akhirnya bersepakat untuk menari dengan gerakan melompat-lompat seperti itu sambil menggandeng tangan sesama penari lain dalam berbagai acara untuk terus mempererat hubungan di antara empat sub-suku tersebut.[14]

Tujuan

Tari Tumbu Tanah yang dilakukan oleh masyarakat Arfak di Rumah Kaki Seribu untuk menyambut tamu dari luar (Assa & Hapsari 2015, hlm. 31).

Tari Tumbu Tanah merupakan tari yang dibawakan secara massal dan tidak terbatas kepada jumlah peserta tari. Tarian ini bisa melibatkan warga satu kampung ataupun gabungan warga dari beberapa kampung. Artinya, tari Tumbu Tanah bisa dikuti secara berkelompok oleh semua lapisan masyarakat, baik tua maupun muda berbaur menjadi satu dalam tarian.[15][16]

Tari Tumbu Tanah dilakukan untuk menyambut berbagai acara penting, antara lain perayaan ulang tahun orang yang berpengaruh dalam masyarakat Arfak, penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak atau kunjungan para pejabat daerah, peresmian pembangunan, perayaan pesta pernikahan, serta perayaan kemenangan perang.[17][18]

Gerak dasar

Secara umum, gerak dasar tari Tumbu Tanah di antara masyarakat Arfak tidak memiliki perbedaan. Perbedaan dasarnya terletak pada pasangan tari, lagu yang dinyanyikan, serta tujuan tarian.[19] Selain itu, tari ini tidak memiliki banyak ragam gerakan. Tari Tumbu Tanah hanya mengenal dua gerak dasar, yaitu bihim ifiri kai cut (melompat sambil menghentakkan kaki di tanah) dan yam (bergandengan tangan). Adapun lagu yang dinyayikan dalam tari Tumbu Tanah harus berbau lagu pujian kepada roh leluhur masyarakat Arfak.[20]

Bihim ifiri kai cut
Gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah dalam tari Tumbu Tanah (Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 102–103).

Bihim ifiri kai cut adalah gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah. Selain berawal dari kegiatan pesta makan untuk berkumpul kembali, gerakan ini juga diadopsi masyarakat Arfak dari kuskus (dalam bahasa Hattam disebut dengan mieya) yang melompat-lompat dan namdur atau burung pintar[21] (dalam bahasa Hattam disebut dengan mbreicew, urinyai, atau undebaicing) yang sedang membuat sarang. Masyarakat Arfak meniru gerakan kedua binatang tersebut karena dirasa mudah dilakukan untuk sebuah tarian.[22]

Gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah dilakukan pada pertengahan lagu. Pada gerakan ini, kedua kaki para penari menjadi kekuatan untuk melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong tubuh agar terangkat ke atas menggunakan tumpuan, para penari harus mendarat dengan kaki sejajar. Maksud gerakan ini selalu dimulai pada pertengahan lagu adalah agar para penari tidak terlalu lelah. Satu lagu dalam tari Tumbu Tanah biasanya berlangsung selama 3–5 menit, sedangkan dalam satu tari Tumbu Tanah biasanya menyanyikan 7–10 lagu. Masyarakat Arfak berpendapat jika gerakan melompat dalam tari Tumbu Tanah dimulai sejak awal lagu, para penari akan cepat kelelahan dan hanya dapat membawakan 3–5 lagu.[23]

Yam

Yam adalah gerakan bergandengan tangan sambil terus melompat-lompat. Gerakan ini bukanlah bergandengan tangan biasa, tetapi melompat-lompat dengan memasukkan tangan melewati bagian lengan atau siku dari penari lain. Maksud dari gerakan ini agar pada waktu melompat tidak mengenai wajah dan dada dari penari lain.[24]

Formasi

Tari Tumbu Tanah biasanya dilakukan oleh 10 orang. Sebelum tari Tumbu Tanah dilaksanakan, masyarakat Arfak akan membuat suatu acara makan bersama yang disebut dengan cintakuek.[e] Secara umum, masyarakat Arfak mengenal tiga bentuk formasi dalam tari Tumbu Tanah. Ketiga bentuk formasi tersebut adalah jey/srem (memanjang), ikrop (setengah lingkaran), dan nimot (lingkaran penuh).[25] Semua gerakan dalam tari Tumbu Tanah memiliki makna yang berhubungan dengan sistem religi dari lingkungan tempat tinggalnya.[26] Menurut Kondologit dan Sawaki, ketiga formasi itu terinspirasi dari wow (ular) yang banyak terdapat di Pegunungan Arfak. Selain burung kasuari, ular merupakan binatang yang disakralkan dalam sistem religi masyarakat Arfak.[27]

Jey/srem

Jey/srem merupakan formasi memanjang. Formasi ini dilakukan pada lagu pertama sampai dengan lagu ketiga. Pada formasi memanjang ini, dop (penari yang menjadi pemimpin) mengambil tempat di bagian depan dari para penari lain sambil menyanyikan diun (lagu yang hanya dapat dinyanyikan oleh orang-orang tua) yang telah disiapkan. Setelah itu, barulah para penari lain berbaris di samping kanan pemimpin lagu tersebut secara horizontal sampai semua penari lengkap, sambil mengikuti lagu kedua yang dinyanyikan oleh pemimpin tari. Lagu kedua yang dinyanyikan dalam tari Tumbu Tanah adalah nihet duwei, yaitu jenis lagu yang bersifat situasional (lagu penyambutan tamu, perayaan perang, ataupun perayaan pesta pernikahan). Ketika lagu kedua memasuki tahap akhir, barulah semua penari mulai melakukan gerakan melompat-lompat dan menghentakkan kaki sambil bergandengan tangan.[28]

Ikrop
Tari Tumbu Tanah juga dikenal dengan tari ular karena formasi terakhir dalam tarian ini membentuk ular yang melilitkan badannya di atas pohon (Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 104–107).

Ikrop merupakan formasi setengah melingkar. Dalam formasi ini, para penari tidak membubarkan formasi memanjang. Mereka hanya melepaskan tangan yang bergandengan untuk berhenti sejenak sekitar + 1–3 menit. Menurut Kondologit dan Sawaki, setiap satu lagu selesai dinyanyikan terdapat jeda yang digunakan oleh para penari untuk mengambil napas dan mengatur kekuatan mereka. Para penari lantas bergandengan tangan kembali dan melompat-lompat, sembari penari yang berada di paling ujung kanan dan kiri sama-sama mengarahkan para penari lain untuk membentuk formasi setengah lingkaran. Setelah terbentuk setengah lingkaran, lagu berikutnya akan dinyanyikan kembali.[29]

Nimot

Nimot merupakan formasi lingkaran penuh. Proses formasi terakhir dalam tari Tumbu Tanah ini hampir sama dengan formasi kedua, yaitu penari paling ujung mengarahkan para penari lain untuk membentuk formasi lingkaran dengan sebelumnya memberikan tanda. Sambil bernyanyi, melompat, dan bergandengan tangan, para penari mengatur posisi sampai membentuk lingkaran penuh. Kedua penari yang berada di paling ujung bersatu dengan bergandengan tangan. Salah satu keunikan dalam formasi terakhir ini yaitu apabila jumlah penari lebih dari 10 orang, formasi lingkarannya akan dibagi menjadi dua atau tiga. Semakin banyak penarinya, lingkarannya juga semakin banyak seperti membentuk ular yang melilitkan badan. Dalam formasi ini, pemimpin tari tetap berada di tempat dan dikelilingi oleh para penari lain.[30]

Lagu pengiring

Dalam sistem religi, masyarakat Arfak memiliki kepercayaan yang berpusat kepada roh nenek moyang dan Sema (perantara roh nenek moyang). Sema dipercaya sedang pergi meninggalkan mereka dan sedang berada di Pulau Roswar karena tidak menghendaki kehidupan yang kotor. Hal inilah yang menyebabkan harus terdapat lagu-lagu berbau pujian kepada roh nenek moyang maupun Sema dalam tari Tumbu Tanah.[19] Adapun lagu pengiring yang dilantunkan dalam tari Tumbu Tanah antara lain diun, nihet duwei, dan isiap. Ketiga lagu tersebut dinyanyikan sambil melompat, menghentakan kaki ke tanah, dan bergandengan tangan. Menurut Assa dan Hapsari, syair dalam lagu kedua dan ketiga ini umumnya dikarang sendiri sebagai ungkapan tujuan dilaksanakannya tari Tumbu Tanah.[31]

Burung namdur polos yang sering diucapkan dalam syair diun saat ini dapat kita temui secara langsung di habitat aslinya, salah satunya di Cagar Alam Pegunungan Arfak, Manokwari, Provinsi Papua Barat (Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 103).
Diun

Jenis lagu ini hanya dapat dinyanyikan oleh para sesepuh di kampung karena berisi syair-syair atau ungkapan dalam bahasa Hattam tua. Diun diwariskan kepada generasi penerus yang dirasa tepat untuk menggantikan kepala suku. Jenis lagu ini berisi kejadian-kejadian masa lampau yang pernah dialami oleh masyarakat Arfak maupun pujian yang terkait dengan kepercayaan mereka, seperti mitologi asal-usul, tempat-tempat keramat, musuh-musuh, dan sahabat mereka. Selain itu, syair dalam lagu diun juga menceritakan keindahan alam dan rahasia-rahasia hidup masyarakat Arfak.[32]

Berikut adalah contoh syair dalam diun yang menceritakan tentang tingkah laku burung namdur, yang dapat meniru suara hewan lain maupun manusia:

Lirik asli Terjemahan
Di kwei ba kep diun wim

Mbier fai...aaa...

Dikwei biwim kep hacum nihet haris nihet

Mbreicew nitow nyai

Udong ung tow bwegei ug yem

Ningoi yam - ningrei yamti

Di Kungoi - Syoungoi mikwei ncu ke yam ei nicin

Bey - niwer bey

Wey ngkenut - wey ngken boy nigwan ro big - ningon minsien

Buguu - mingon na'ceua

Bicum nihet tut - miris nihet tut utom babou sriua -

Utom babu figeu

Mbreicew sangat pandai meniru suara-suara, baik hewan lain maupun manusia

Ketika orang-orang sedang mencari kembang anggrek di sebuah tempat yang teramat jauh

di Kungoi - Syoungoi burung pintar itu membawa kembang anggrek yang kami cari ke sarangnya

Saat kembang itu telah berada di sarangnya, mbreicew terlihat begitu senang dan meniru suara-suara hewan lain,

termasuk suara anjing yang menggonggong

Hal inilah yang membuat kami tertipu ketika melangkah kembali menyusuri hutan

Sumber: Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 108–109.
Nihet duwei

Jenis lagu ini dikenal sebagai lagu yang berkembang dalam masyarakat Arfak saat ini. Perbedaan jenis lagu diun dan nihet duwei terletak pada syair yang dilantunkan. Syair yang terdapat dalam lagu ini adalah syair yang bersifat situasional. Artinya, apabila tari Tumbu Tanah dilakukan untuk menyambut tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak, syair dalam nihet duwei akan memuji tamu tersebut. Sebaliknya, apabila tari Tumbu Tanah dilakukan sebagai perayaan pesta pernikahan, syair dalam nihet duwei akan memuji kedua pasangan (kecantikan, ketampanan, dan kerja keras).[33] Syair dalam nihet duwei juga mencakup lagu sebagai tanda kemenangan dalam perang.[19]

Berikut adalah contoh syair dalam nihet duwei:

Syair 1 Syair 2
Solo: Tidak semua laki-laki mencintaimu

Semua: Taimu taimu.... taimu taimu....

Solo: Selamat datang bapak Jawa

Semua: Jawa ya.... Jawa ya.... Jawa ya.... Jawa ya....

Sumber: Assa & Hapsari 2015, hlm. 31–32.

Syair pertama dinyanyikan dalam perayaan pesta pernikahan, sedangkan syair kedua sebagai penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak. Kata taimu merupakan suku kata dan akhiran dari kata "mencintaimu", sedangkan kata Jawa ya merupakan pengulangan dari kata "Jawa". Dalam syair penyambutan tamu, seharusnya disebutkan nama seseorang yang berkunjung, tetapi dikarenakan mereka tidak mengetahui namanya, para penari menyebut saja dengan "orang Jawa".[f][34]

Isiap

Jenis lagu ini tidak memiliki syair, hanya teriakan-teriakan dari para penari, baik teriakan yang kuat, sedang, maupun lemah. Isiap muncul secara spontan dari para penari sebagai penyemangat kepada para penari lain yang dirasa mulai kelelahan.[35]

Alat musik

Alat musik yang biasa digunakan oleh masyarakat Arfak sebagai pengiring tari Tumbu Tanah adalah keucoawa. Alat musik yang terbuat dari bambu ini telah diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun. Keucoawa berbentuk seperti suling, tetapi bambu yang digunakan lebih besar dan hanya mempunyai satu lubang saja.[19] Selain keucoawa, alat musik lain yang digunakan sebagai pengiring tari Tumbu Tanah adalah pikon atau dikenal dalam bahasa lokal dengan nama hite. Pikon merupakan alat musik yang dimainkan di dalam mulut. Pada saat ini, pikon banyak dijumpai pada suku Dani yang mendiami Lembah Baliem.[36][37] Pikon terbuat dari kulit kayu anak panah yang dipotong pendek sekitar + 5–10 sentimeter dengan lebar + 2–3 sentimeter, kemudian dibelah bagian tengahnya, dan celah itulah nantinya yang dimasukkan ke dalam mulut dan ditiup hingga mengeluarkan bunyi-bunyian.[38]

Setelah mendapatkan pengaruh dari luar, masyarakat Arfak juga menggunakan alat musik yang dibuat dari kulit bia (kerang laut) sebagai pengiring tarian, yaitu triton. Alat musik ini dalam bahasa Hattam disebut dengan funa.[19] Pada masa lalu, funa diperoleh masyarakat Arfak di sekitar Teluk Doreh melalui proses barter apabila mereka kesulitan mencari kulit kerang laut. Funa juga dimainkan dengan cara ditiup. Menurut Kondologit dan Sawaki, alat-alat musik tersebut juga digunakan untuk mengumpulkan kerabat yang berada di dalam rumah agar menyaksikan tari Tumbu Tanah. Dalam tari Tumbu Tanah, ketika sedang bernyanyi dan menari terkadang ada orang yang memukulkan panah dan busur yang dipegang. Bunyi dari panah maupun busur tersebut turut membuat irama lagu semakin hidup.[38]

Aksesoris

Tari Tumbu Tanah diwariskan secara turun-temurun. Sampai saat ini, ragam busana dan aksesorisnya tidak banyak berubah, baik penari laki-laki maupun perempuan. Aksesoris tersebut meliputi maya (cawat), sre-a (kain dada), miep (manik-manik), nakwai atau nsien (kalung), lia (gelang), ayoba (mahkota), minya (noken), ampiaba (busur), tebor (panah), dan hamboya (parang).[39]

Maya

Maya (cawat) merupakan pakaian tradisional pengganti celana penari laki-laki tari Tumbu Tanah. Pada umumnya, maya terbuat dari kulit kayu yang telah dikeringkan. Adapun cara pemasangannya yaitu dengan cara melilitkan kain tersebut di pinggang penari. Seorang penari akan dibantu penari laki-laki lain dalam proses pelilitannya, yang dimulai dari bagian depan hingga belakang sampai berbentuk seperti celana. Panjang kain maya + 1–1,5 meter, sedangkan lebarnya + 1 meter.[40]

Sre-a

Sre-a adalah kain yang digunakan oleh penari perempuan. Sama halnya seperti noken, kain yang digunakan oleh penari perempuan Arfak untuk menarikan tari Tumbu Tanah pada masa lalu terbuat dari kulit kayu dan anyaman rumput. Setelah masuknya modernisasi, penari perempuan saat ini menggunakan kain panjang yang akan diikat di tubuh mereka untuk menutup bagian dada sampai kaki. Hal inilah yang menyebabkan kain ini disebut dengan kain dada.[41]

Miep dan mieya

Miep adalah manik-manik yang digunakan oleh penari laki-laki, sedangkan mieya adalah manik-manik yang digunakan oleh penari perempuan. Pada masa lalu miep terbuat dari biji-bijian, tetapi saat ini miep banyak terbuat dari keramik ataupun plastik. Miep memiliki banyak variasi warna, sedangkan panjangnya antara 45 sentimeter sampai dengan 1 meter. Miep berfungsi sebagai hiasan bagian dada penari laki-laki. Adapun cara memasang miep yaitu dilipat menjadi dua bagian, lalu dipasangkan di tubuh penari laki-laki secara menyilang.[42] Berbeda dengan miep yang digunakan oleh penari laki-laki, mieya yang digunakan oleh penari perempuan umumnya bentuknya lebih halus dan hanya terdiri atas satu warna saja. Mieya penari perempuan berfungsi sebagai kalung atau hiasan di leher.[43]

Nakwai dan nsien

Secara umum, aksesoris ini dikenal sebagai kalung atau hiasan leher yang dipakai oleh penari laki-laki. Adapun perbedaan antara nakwai dan nsien terletak pada bahan yang digunakan. Nakwai berasal dari gigi atau taring babi, sedangkan nsien berasal dari gigi atau taring anjing.[44]

Lia

Lia adalah gelang yang digunakan oleh penari laki-laki maupun perempuan. Pada masa lalu, ila yang digunakan oleh penari laki-laki maupun perempuan terbuat dari batang pohon anggrek yang dianyam sesuai ukuran tangan maupun lengan. Setelah mendapatkan pengaruh dari luar, khususnya orang Biak, masyarakat Arfak telah menggunakan lia yang terbuat dari kerang laut yang dikenal dengan nama paseda. Paseda digunakan oleh penari laki-laki, sedangkan penari perempuan tetap menggunakan lia yang terbuat dari batang pohon anggrek.[45]

Ayoba

Ayoba merupakan hiasan kepala atau mahkota penari laki-laki maupun perempuan. Ayoba terbuat dari anyaman kulit kayu yang dihiasi dengan bulu-bulu burung kasuari dan ayam hutan. Perbedaan ayoba penari laki-laki dan perempuan terletak pada hiasan bulunya. Bulu ayoba penari laki-laki lebih tinggi dibadingkan dengan bulu ayoba penari perempuan.[46]

Noken digunakan sebagai aksesoris tambahan dalam tari Tumbu Tanah (Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 118).

Minya

Minya atau lebih dikenal dengan noken merupakan tas tradisional Papua (termasuk masyarakat Arfak) yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu, rumput, dan anggrek.[47] Pada saat ini, noken lebih banyak menggunakan benang dikarenakan beberapa bahan semakin sulit dicari. Noken dapat diartikan sebagai kerajinan tangan yang sudah bernorma, beradat, berbudaya dan beretika dari masa leluhur hingga sekarang.[48] Tas tradisional tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang perempuan Papua, seperti halnya para laki-laki yang selalu membawa ampiaba (busur) dan tebor (panah) ke manapun mereka pergi. Selain digunakan untuk upacara adat dan membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari,[49] noken juga digunakan sebagai aksesoris pelengkap penari perempuan tari Tumbu Tanah.[50]

Ampiaba dan tebor

Ampiaba adalah sebutan untuk busur dalam bahasa Hattam, sedangkan tebor merupakan panah. Sejak masa lalu, ampiaba dan tebor tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang laki-laki Papua, baik untuk melindungi diri, berburu, maupun menari. Para pemimpin laki-laki dalam tari Tumbu Tanah membawa ampiaba dan tebor sebagai lambang keperkasaan dan kelincahan. Tebor yang digunakan untuk berburu dan berperang terbuat dari taring binatang liar, sedangkan tebor yang digunakan untuk menari terbuat dari kayu atau bambu. Adapun ampiaba yang digunakan tetap sama, yaitu terbuat dari batang nibung.[51]

Hamboya

Hamboya adalah parang yang merupakan aksesoris pelengkap, yang dibawa oleh pemimpin penari laki-laki sebagai pengganti ampiaba dan tebor. Gagang hamboya terbuat dari kayu yang dihiasi dengan bulu burung kasuari.[52][53]

Nilai

Masyarakat Arfak memandang tari Tumbu Tanah sebagai jati diri mereka karena berasal dari nenek moyang. Menurut mereka, gerak, formasi, lagu pengiring, alat musik, dan aksesoris dalam tari Tumbu Tanah merupakan ciri khas masyarakat Arfak yang membedakannya dengan tarian di daerah Papua lain. Apabila ada seseorang yang melihat atau mendengarkan ada tari Tumbu Tanah yang sedang dilakukan, dapat dipastikan bahwa tarian tersebut dilakukan oleh masyarakat Arfak.[54][55]

Nilai sosial dalam tari Tumbu Tanah dapat dilihat ketika tarian ini harus dilakukan oleh banyak orang, yaitu setidaknya dilakukan oleh 10 orang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Arfak tidak dapat hidup seorang diri. Mereka membutuhkan bantuan orang lain, baik dari keluarga maupun para tetangganya, untuk membantu dalam berbagai aktivitas. Selain itu, salah satu gerak dalam tari Tumbu Tanah adalah bergandengan tangan. Hal tersebut merupakan simbol kekeluargaan dan persahabatan di antara masyarakat.[56]

Secara religius, tari Tumbu Tanah dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada para leluhur karena atas perlindungan roh-roh tersebut masyarakat Arfak berhasil dalam memperoleh buruan, menang dalam perang, dan mendapatkan hasil panen yang melimpah.[57] Adapun nilai ekonomi dalam tari Tumbu Tanah dapat dilihat sebelum tari tersebut dilaksanakan. Masyarakat Arfak akan membuat suatu acara makan bersama yang disebut dengan cintakuek. Kegiatan inilah yang digunakan oleh masyarakat Arfak sebagai ajang untuk menunjukkan kemampuan mereka memberi makan banyak orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dalam jumlah yang banyak serta ajang mencari jodoh.[58]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Kata "arfak" berasal dari kata arfk yang berarti "orang tidur di atas bara api". Nama tersebut diberikan oleh orang-orang Belanda pada zaman dahulu karena melihat masyarakat setempat tidur di atas sebuah rumah panggung yang di bawahnya diberi bara api dengan tujuan untuk menghangatkan. Hal tersebut dilakukan karena hawa di pegunungan sangat dingin, bahkan bisa mencapai 6 derajat Celcius. Akhirnya, daerah pegunungan yang menjadi tempat tinggal suku itu dinamakan Pegunungan Arfk, yang dalam penyebutannya menjadi "arfak" (Hapsari 2016, hlm. 153–154).
  2. ^ Secara etimologi, kata "manokwari" berasal dari bahasa Byak yaitu mnukwar yang berarti "kota tua" (Hapsari 2016, hlm. 153).
  3. ^ Varian Legenda Jambu Mandjatan juga berkembang dalam cerita rakyat suku Meyakh. Varian tersebut memiliki kemiripan alur cerita, yaitu penyerobotan terhadap bagian lain dari cabang pohon jambu dengan buah dan burung yang hinggap di dahannya oleh seorang anak dari salah satu keret di kampung. Akibat dari penyerobotan dan matinya burung yang hinggap di dahan menyebabkan pertengkaran di bawah pohon jambu. Pertengkaran semakin berkepanjangan dan meluas antara orang tua di kampung. Akibat pertengkaran tersebut beberapa keluarga inti memilih pergi dan pindah ke wilayah lain. Perbedaan dalam varian cerita Legenda Jambu Mandjatan versi suku Meyakh adalah kelompok-kelompok keluarga inti bergerak ke arah utara hingga pantai utara menyusuri sungai Wariori. Penduduk asal suku Meyakh inilah yang saat ini tinggal dan menempati pantai utara kepala burung dari muara sungai Wariori hingga Pami serta sebagian terus menyebar dan tinggal di sebagian wilayah Pasir Putih. Varian cerita Legenda Jambu Mandjatan dari suku Meyakh tersebut dinamakan dengan "Bukuati" (Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 42–44).
  4. ^ Setiap marga dalam masyarakat Arfak sejak dahulu hingga saat ini dikepalai oleh seorang nibou nimpung (kepala suku). Seorang kepala suku besar Arfak menjadi pemimpin dari keempat sub-suku atau etnis, yaitu Hattam, Sough, Meyakh, dan Moile. Masing-masing nibou nimpung menguasai satu mnu (wilayah), yang artinya dusun atau kampung dengan sejumlah orang yang dipimpinnya yang disebut dengan limuanya atau tungwatunya (masyarakat biasa) (Assa & Hapsari 2015, hlm. 25).
  5. ^ Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan memberi makan bagi orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dalam jumlah yang banyak. Cintakuek diawali dengan mengerjakan kebun yang besar karena dalam kegiatan tersebut peserta hanya diberi makanan hasil kebun saja, seperti labu, kacang, jagung, ubi-ubian, pisang, dan lain sebagainya yang diolah dengan cara indigciema atau bakar batu (Assa & Hapsari 2015, hlm. 39).
  6. ^ Tradisi masyarakat setempat masih kental dengan budaya berburu dan berkebun. Mereka menyebut para suku pendatang maupun masyarakat dari luar Papua, baik Jawa maupun non Jawa (Sunda, Madura, Bali, dan Sumatera) dengan "orang Jawa" (Hujairin, dkk 2017, hlm. 58).

Rujukan

  1. ^ Hujairin, dkk (2017), hlm. 58: "Masyarakat Arfak terdiri atas empat suku besar, yaitu Suku Hattam yang mendiami Distrik Oransbari dan Distrik Ransiki, Suku Meyakh yang menghuni Distrik Warmare dan Distrik Prafi, Suku Sough yang mendiami Distrik Anggi, dan Suku Moile yang mendiami Distrik Minyambouw (...)"
  2. ^ Hastanti & Yeny 2009, hlm. 23: "(...) Mereka memiliki seni tari dan lagu yang sama yaitu Tumbu Tanah".
  3. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 96: "(...) Misalnya orang Hattam menyebutnya dengan nama Isim, sedangkan orang Meyakh menyebutnya Mugka dan orang Sough menyebutnya Manyohora. Sehingga untuk mempermudah penyebutan tarian ini maka masyarakat Arfak menggunakan bahasa Indonesia dengan menyebutnya tarian Tumbu Tanah, juga agar dapat dimengerti oleh masyarakat lain".
  4. ^ Hernawan (2002), hlm. 2: "Papua dewasa ini tidaklah sama dengan Papua saat para perintis gereja-gereja, seperti Otto dan Geissler, memasuki tanah Papua pada 5 Februari 1855 (...)"
  5. ^ Indonesia Kaya (tanpa tanggal). "Menelusuri Sejarah Peradaban Papua di Pulau Mansinam". Indonesia Kaya (Eksplorasi Budaya di Zamrud Khatulistiwa). Diakses tanggal 4 April 2019. 
  6. ^ Hapsari (2016), hlm. 153: "Manokwari dikenal sebagai kota bersejarah dalam penyebaran agama Kristen di Tanah Papua, karena tanggal 5 Februari 1855 dua orang misionaris berkebangsaan Jerman, yaitu Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler mendarat di Pulau Masinam dan memulai penyebaran Injil (...)"
  7. ^ Awoitauw (2020), hlm. 17: "Misionaris pertama yang datang ke Papua adalah dua orang misionaris Jerman, Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler. Mereka tiba di Pulau Masinam, sekitar 6 kilometer dari Manokwari, pada 5 Februari 1855 (...) Kristenisasi di satu sisi dengan berbagai misi di bidang sosial dan pendidikan tentu membawa kebaikan bagi masyarakat Papua (...)"
  8. ^ Ariefana, Pebriansyah (5 Februari 2016). "Masyarakat Peringati 161 Tahun Injil Masuk Papua". Suara.com. Diakses tanggal 4 April 2019. 
  9. ^ Assa & Hapsari 2015, hlm. 35: "Tidak dapat disangkal bahwa akibat kontak dengan budaya lainnya, terutama dengan mereka yang senantiasa menggunakan bahasa Indonesia sangat mempengaruhi masyarakat Arfak untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia, khususnya dialek Melayu Timur. Masyarakat Arfak menggunakan bahasa Indonesia untuk mempermudah menyebut tari Tumbu Tanah. Di sisi lain, penyebutan tersebut digunakan agar tarian ini dikenal oleh masyarakat lain".
  10. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 41–42: "Tentang asal-usul atau cerita rakyat yang menjadi acuan untuk menelusuri asal-usul, keturunan, dan persebaran orang Arfak, serta tari Tumbu Tanah, beberapa mite dan legenda telah dituturkan dari generasi ke generasi. Cerita rakyat utama yang menjadi acuan tidak terlepas dari mitologi Legenda Jambu Mandjatan di Kampung Ndui, yang mengisahkan tentang tersebarnya orang Arfak setelah konflik penguasaan buah jambu (...)"
  11. ^ Koentjaraningrat, dkk (1994), hlm. 145: " Di antara keempat suku bangsa tersebut pada awalnya memiliki hubungan kekeluargaan yang erat antara satu dengan yang lainnya (...)"
  12. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 43: "Dalam kisah ini selanjutnya mengatakan bahwa terdapat dua kelompok besar yang sangat sentral pada masyarakat Arfak. Kelompok besar pertama yang bergerak menuju daerah Anggi menurunkan masyarakat berbahasa Sough yang memiliki banyak nama keluarga atau klen. Sedangkan kelompok besar satunya pergi ke timur laut (Minyambouw) menurunkan masyarakat berbahasa Hattam. Kedua kelompok tetap hidup bersama saat ini dan menempati wilayahnya masing-masing (...)"
  13. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 97–98: "Setelah berpisah sekian lama, ada keinginan untuk dapat hidup secara bersama-sama lagi, maka diadakanlah pesta makan oleh suku Hattam dan mengundang beberapa suku lain yang tersebar di wilayah-wilayah lainnya (...)"
  14. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 98–99: "Pada waktu itu juga selain melompat diiringi oleh suara teriakan sebagai ungkapan perasaan bahagia atau senang, kemudian di dalam kebahagiaan tersebut salah seorang dari mereka mulai melantunkan syair-syair terima kasih kepada tuan rumah yang telah menyiapkan makanan (...)"
  15. ^ Papua Untuk Semua (7 Juni 2015). "Dansa Tumbu Tana, Tarian dari Suku Arfak yang Kian Terkenal". Papua.us. Diakses tanggal 5 April 2019. 
  16. ^ Sobat Budaya (18 Mei 2020). "Tari Tumbu Tanah". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Diakses tanggal 31 Mei 2020. 
  17. ^ Assa & Hapsari 2015, hlm. 31–32: "Dansa Tumbu Tana adalah suatu tarian dalam menyambut acara-acara penting masyarakat Arfak. Dansa Tumbu Tana ini dilakukan di lapangan atau di halaman terbuka untuk: 1) Merayakan pesta perkawinan; 2) Hari-hari penting seperti hari ulang tahun atau hari besar lainnya; 3) Menyongsong tamu dari luar distrik".
  18. ^ Mampioper, Dominggus (8 Mei 2015). "Dansa Tumbu Tana dari Arfak, Papua Barat". Tabloid Jubi. Diakses tanggal 4 April 2019. 
  19. ^ a b c d e Assa & Hapsari 2015, hlm. 33: "Acara Tumbu Rumah pada dasarnya sama dengan Dansa Tumbu Tana dan tari Tumbu Tanah. Acara Tumbu Rumah adalah suatu acara tari masyarakat Arfak yang dilakukan di Rumah Kaki Seribu. Perbedaan tari Tumbu Tanah terletak pada pasangan tari yang harus sejenis, yaitu laki-laki bergandengan tangan dengan laki-laki dan perempuan bergandengan tangan dengan perempuan, lagu yang dinyanyikan harus berbau lagu pujian kepada roh nenek moyang dan Sema, serta tujuan tarian yang memiliki makna tersendiri bagi mereka. Selain itu, nihet duwei (lagu kedua) dalam Dansa Tumbu Tana biasanya mengagungkan seorang perempuan dan keindahan alam Arfak, serta ada juga nyanyian sebagai tanda kemenangan perang. Selain nyanyian, masyarakat Arfak juga memiliki alat musik yang digunakan untuk memanggil semua kaum kerabat dan sebagai pengiring tari Tumbu Tanah yang disebut dengan keucoawa. Selain musik tiup bambu, masyarakat Arfak, khususnya Hattam, juga mempunyai alat musik dari kulit bia (kerang laut) atau disebut triton, alat musik ini diperoleh di sekitar Teluk Doreh. Alat musik tiup triton disebut dengan funa dalam bahasa Hattam (...)"
  20. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 102: "Dari aspek jumlah penarinya ragam tarian ini tetap sama seperti dahulu, yaitu berjumlah lebih dari 10 penari, sedangkan dari aspek gerak dasar tarian yang dikenal oleh masyarakat Arfak secara umum dan orang Hattam secara khusus tidak ada perbedaan, di mana melompat sambil menghentakkan kaki di atas tanah dan bergandengan tangan merupakan dua gerak dasar tari Tumbu Tanah yang telah ada sejak nenek moyang mereka ada".
  21. ^ Greeners (3 Juli 2015). "Burung Namdur Polos, Si Arsitek Bersayap". Greeners. Diakses tanggal 22 April 2019. 
  22. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 102–103: "Menurut masyarakat Arfak, gerakan melompat ini diikuti atau sumber inspirasinya berasal dari kuskus pohon yang berada di wilayah Pegunungan Arfak yang dalam bahasa Hattam disebut mieya. Pada masa lalu, nenek moyang mereka melihat mieya atau kuskus pohon seperti sedang menari dengan gerakan melompat-lompat ketika mengiringi burung pintar (namdur polos) atau dalam bahasa Hattam disebut mbreyceeuw/urinyai/undebaicing yang sedang membuat rumahnya. Sehingga mereka melihat gerakan ini sangat bagus dan mudah dilakukan lalu ketika sedang menari mereka menirunya".
  23. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 103–104: "Gerakan ini dilakukan pada pertengahan lagu atau syair yang dilantunkan, di mana maksud dari selalu memulai gerakan untuk menari di pertengahan lagu agar ketika sampai pada akhir tubuh penari tidak terlalu capek. Sepenuturan masyarakat Arfak, apabila sejak awal sudah menari terus, maka penari cepat kelelahan, karena biasanya 1 lagu dinyanyikan 3-5 menit, dan satu tarian menyanyikan 7-10 lagu atau syair. Pada gerakan ini, kedua kaki penari menjadi kekuatan melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong tubuh agar terangkat ke atas menggunakan tumpuan, para penari harus mendarat dengan kaki sejajar".
  24. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 104: "Gerakan ini tidak sama seperti kita sedang bergandeng tangan biasa dengan menggunakan jari-jari tangan, tetapi ketika sedang melompat siku mereka akan dimasukkan ke tangan melewati bagian lengan penari lain atau tepat pada siku dan bagian tangannya harus menghadap ke depan agar tidak mengenai wajah dan dada".
  25. ^ Lulu M. (tanpa tanggal). "Tarian Papua Barat". Budaya Lokal. Diakses tanggal 5 April 2019. 
  26. ^ Frank (2012), hlm. 18: "Rumah Kaki Seribu dan tari Tumbu Tanah pada masyarakat Arfak memiliki makna simbol yang berhubungan dengan sistem religi dan sosial dari lingkungan tempat tinggalnya (...)"
  27. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 104–105: "Sumber inspirasi bentuk formasi pada tarian Tumbu Tanah diambil dari wow (ular) yang banyak terdapat di Pegunungan Arfak (...)"
  28. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 105–106: "Dalam formasi ini, mula-mula seorang penari yang menjadi pemimpinnya akan mengambil tempat di bagian depan penari lain, di mana dia terlebih dahulu memulainya dengan cara menyanyikan lagu yang telah disiapkan sebelumnya (...)"
  29. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 106: "Formasi ini dilakukan setelah formasi memanjang atau horizontal. Tanpa membubarkan formasinya atau masih tetap dalam formasi memanjang/horizontal hanya tidak dalam keadaan sedang bergandengan tangan (...)"
  30. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 107–108: "Hal yang menarik pada formasi terakhir tari Tumbu Tanah yang dilakukan oleh masyarakat Arfak yaitu apabila jumlah penarinya lebih dari 10 orang ke atas, maka formasi lingkarannya akan menjadi dua atau tiga lingkaran (...)"
  31. ^ Assa & Hapsari 2015, hlm. 32: "Syair atau lagu dalam tari Tumbu Tanah pada umumnya merupakan syair yang dikarang sendiri oleh seseorang dan merupakan hal yang dilihat atau sebagai ungkapan perasaan pada saat itu (...)"
  32. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 108–109: "Jenis syair lagu diun akan susah dimengerti generasi muda dan hanya dapat dinyanyikan oleh para orang-orang tua di kampung, karena berisi ungkapan dalam bahasa Hattam tua tentang mitologi (...)"
  33. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 109–110: "Jenis lagu atau syair situasional ini sering dikenal oleh orang Hattam sebagai jenis lagu masyarakat yang hidup di saat ini, terutama anak mudanya. Perbedaan lagu ini dengan jenis lagu diun terletak pada syairnya".
  34. ^ Assa & Hapsari (2015), hlm. 32–33: "(...) Seharusnya disebut nama seorang bapak yang dari Jawa berkunjung ke daerah Anggi, namun tidak diketahui namanya, maka kemudian disebut saja nama suku bangsanya yaitu Jawa".
  35. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 110: "Jenis lagu ini tidak ada syairnya hanya suara-suara yang bernada teriakan-teriakan dari para penari, baik teriakan yang kuat atau tinggi maupun suara yang pelan atau rendah. Jenis lagu ini biasanya secara spontan dilakukan oleh para penari sebagai penyemangat dalam tarian atau mengeluarkan suara karena kelelahan dan sebagainya".
  36. ^ Bestari, Fardi (12 April 2018). "Melihat Alat Musik Tradisional Pikon dari Wamena Papua". Tempo Media Group. Diakses tanggal 22 April 2019. 
  37. ^ Shaumi, Farah (10 Februari 2015). "Pikon". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Diakses tanggal 22 April 2019. 
  38. ^ a b Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 110–111: "Selain keucoawa, alat musik lain yang digunakan sebagai pengiring tari Tumbu Tanah adalah pikon. Alat-alat musik tersebut juga digunakan untuk mengumpulkan kerabat yang berada di dalam rumah agar menyaksikan tari Tumbu Tanah. Kadangkala, saat menyanyi dan menari, ada juga orang yang memukulkan busur dan panah yang membuat irama lagu (...)"
  39. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 112–118: "Aksesoris yang digunakan pada tari Tumbu Tanah meliputi: 1) Maya (cawat) (.... alinea penjelasan); 2) Sre-a (kain dada) (....alinea penjelasan); 3) Miep (manik-manik) (....alinea penjelasan); 4) Nakwai (kalung) (....alinea penjelasan); 5) Lia (gelang) (....alinea penjelasan); 6) Ayoba (mahkota) (....alinea penjelasan); 7) Minya (noken) (....alinea penjelasan); 8) Ampiaba (busur) (....alinea penjelasan); 9) Tebor (panah) (....alinea penjelasan); dan 10) Hamboya (parang) (....alinea penjelasan)".
  40. ^ Assa & Hapsari (2015), hlm. 50: "Pakaian yang digunakan oleh laki-laki masyarakat Arfak disebut dengan cawat. Cawat juga dipakai dalam tari Tumbu Tanah (...)"
  41. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 116–117: "Busana yang digunakan oleh kaum perempuan dalam menarikan tari Tumbu Tanah di masa lalu terbuat dari kulit kayu dan anyaman rumput sama seperti membuat noken (...)"
  42. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 112–113: "Miep pada masa lalu terbuat dari buah atau biji-bijian pohon khusus, namun saat ini banyak terbuat dari keramik serta plastik. Memiliki banyak warna seperti merah, putih, biru, dan lain-lain, biasanya panjang sebuah manik-manik antara 45 cm sampai 1 meter".
  43. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 117: "Sedangkan mieya atau manik-manik penari wanita bentuknya lebih halus. Kalau laki-laki untuk hiasan dada maka yang perempuan manik-manik sebagai kalung atau hiasan leher".
  44. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 113: "Masyarakat Arfak mengenal dua jenis kalung sebagai aksesoris dalam tari Tumbu Tanah, yaitu nakwai (terbuat dari taring dan gigi babi) dan nsien (terbuat dari taring dan gigi anjing) (...)"
  45. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 114 dan 117: "Secara tradisi gelang mereka terbuat dari batang pohon anggrek yang dianyam, baik itu berukuran kecil, sedang, maupun besar (...)"
  46. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 114–115: "Ayoba merupakan hiasan kepala yang digunakan oleh para penari laki-laki maupun perempuan dalam tari Tumbu Tanah. Perbedaan antara mahkota pada penari pria dan wanita terletak pada bulu ayam hutan atau kasuari yang lebih pendek (...)"
  47. ^ Kusuma, David (30 November 2018). "Tas Noken, Mahakarya Mama Papua yang Telah Mendunia". Tribun Manado. Diakses tanggal 22 April 2019. 
  48. ^ Kumparan (11 Januari 2018). "Mengenal Noken: Tas Buatan Mama dari Bumi Cendrawasih". Kumparan. Diakses tanggal 22 April 2019. 
  49. ^ Abi, Faiz (tanpa tanggal). "Noken Papua yang Berasal dari Raja Ampat dan Wamena Ternyata Berbeda". Phinemo. Diakses tanggal 22 April 2019. 
  50. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 118: "Noken sejak dahulu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang perempuan Papua (termasuk masyarakat Arfak) dalam pertunjukan tari Tumbu Tanah (...)"
  51. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 115–116: "Aksesoris ini tidak terpisahkan dari laki-laki Papua, khususnya Arfak. Sehingga walaupun sudah tidak terjadi perang tetap digunakan sebagai bukti kelincahan atau perkasa (...)"
  52. ^ Kondologit & Sawaki (2016), hlm. 116: "Salah satu aksesoris yang hanya dapat dibawa oleh pria ketika menari tarian Tumbu Tanah. Parang terbuat dari besi yang sudah ditumbuk dengan panjang antara 70 cm sampai 1 meter. Gagangnya terbuat dari kayu yang biasa dihiasi dengan bulu burung kasuari. Parang tidak diwajibkan untuk semua penari bawa, hanya satu atau dua orang saja dan yang biasa membawa adalah pemimpin dalam tarian tersebut".
  53. ^ Assa & Hapsari (2015), hlm. 49: "Selain digunakan sebagai berburu, berperang, dan melindungi diri, parang atau hamboya juga digunakan masyarakat Arfak sebagai aksesoris tambahan dalam tari Tumbu Tanah (...)"
  54. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 125: "Khusus untuk seni tari, Anderson (1974) mengemukakan bahwa tari memiliki kekuatan untuk membangkitkan sebuah respon kinestetik pada sebagian penontonnya yang pada kenyataannya adalah cara di mana tari itu dapat berkomunikasi, apakah sedang menyampaikan sebuah cerita, suatu pesan, atau menyampaikan makna. Menurut masyarakat Arfak, tari Tumbu Tanah adalah jati diri mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi yang berhubungan erat dengan nilai budaya, etika, dan ekonomi".
  55. ^ Aprianto 2019, hlm. 178: "Seperti halnya tarian di daerah lain, tari Tumbu Tanah juga memiliki nilai-nilai yang tersimpan di dalamnya (...)"
  56. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 125–126: "Tari Tumbu Tanah tidak dapat dilakukan oleh seorang diri. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Arfak tidak independen dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Artinya, mereka tidak memandang dari suku, kampung, atau keluarga mana seseorang itu berasal, asalkan dia mau memahami, mencintai budaya orang Arfak secara umum, termasuk tarian Tumbu Tanah, ia adalah keluarga atau bagian dari masyarakat Arfak".
  57. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 126: "Secara religius, salah satu tujuan melakukan tarian Tumbu Tanah adalah ungkapan syukur mereka selalu menang perang. Sehingga dalam lagu yang dinyanyikan berisi syair tentang pemujaan terhadap para leluhur, alam nenek moyang".
  58. ^ Kondologit & Sawaki 2016, hlm. 126–127: "Dalam budaya masyarakat Arfak terdapat upacara atau pesta massal yang sering dilakukan masyarakat yang disebut cintakuek (pesta pora) yang biasanya diselenggarakan dengan tujuan memberi makan orang-orang dari kampung lain yang mempunyai hubungan kerabat dalam jumlah yang banyak. Rencana pesta ini diawali dengan menyiapkan/mengerjakan kebun yang besar, karena dalam acara tersebut peserta hanya diberi makan hasil kebun dan sayuran saja yang diolah dengan cara bakar batu atau indigciema. Pesta ini bagi masyarakat Arfak untuk dipakai ajang kemampuan memberi makan atau cari jodoh kawula muda".

Daftar pustaka

Buku

  • Assa, Veibe Ribka; Hapsari, Windy (2015). Peranan Perempuan Hattam dalam Beberapa Aspek. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan Kepel Press. ISBN 978-602-3560-62-2. 
  • Awoitauw, Mathius (2020). Kembali ke Kampung Adat: Meniti Jalan Perubahan di Tanah Papua. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-4815-13-4. 
  • Frank, Simon Abdi K. (2012). Arsitektur Tradisional Suku Arfak di Manokwari. Jayapura: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura, Papua Kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Studi Kawasan Perdesaan, Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. ISBN 978-602-7980-01-3. 
  • Koentjaraningrat, dkk (1994). Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit Djambatan. ISBN 978-979-4281-70-3. 
  • Kondologit, Enrico Yory; Sawaki, Andi Thompson (2016). Tarian Tumbu Tanah (Tari Tradisional Masyarakat Arfak di Kabupaten Arfak, Provinsi Papua Barat). Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan Amara Books. ISBN 978-602-6525-10-9. 

Jurnal

Esai

Pranala luar